Penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-56 dan Festival Seni Qasidah (FSQ) tingkat Kabupaten Kotawaringin Timur tahun 2025 dirundung sejumlah persoalan serius yang mengusik rasa keadilan para peserta.
Dugaan ada peserta yang terdaftar mewakili dua wilayah berbeda di satu event gabungan, serta tuduhan bahwa uang saku peserta belum pernah cair sejak hari pertama hingga penutupan acara.
Di sisi lain, publik mencermati anggaran besar yang dialokasikan untuk kegiatan ini senilai Rp1,46 miliar sebagai indikator harapan bahwa pelaksanaan ke depan harus lebih transparan dan bertanggung jawab.
Kegiatan yang seharusnya meneguhkan syiar Al-Qur’an dan seni Islami kini menghadapi kegalauan dari sebagian peserta kafilah.
Sejak pembukaan pada 27 September hingga selesai pada 5 Oktober, sejumlah peserta menyatakan belum menerima uang saku yang dijanjikan.
Kondisi ini menciptakan keraguan dan kekhawatiran terhadap mekanisme penyaluran dana kafilah, terutama bagi mereka yang telah aktif mengikuti seluruh rangkaian lomba namun belum mendapatkan dukungan finansial minimal.
Kasus lebih kompleks muncul ketika panitia kabupaten melakukan verifikasi data peserta dan menemukan bahwa beberapa nama muncul di dua daftar kafilah berbeda satu untuk cabang MTQ, satu untuk cabang FSQ masing-masing mencantumkan wilayah berbeda sebagai mandat.
Temuan ini membawa pertanyaan utama, apakah surat mandat ganda tersebut sah dan dapat diterima sesuai regulasi yang ditetapkan.
”Belum ada menerima uang saku, dan terdengar kabar peserta yang bercabang. Sehingga komitmen di kecamatan itu seperti tidak ada. Mandat itu adalah surat yang bisa berlandaskan hukum berlaku. Karena dengan mandat itulah peserta bisa ikut di kecamatan, dan seharusnya bisa mendorong kecamatan bersangkutan untuk menjadi juara umum,” ujar salah satu peserta yang tidak mau disebutkan namanya.
Menurut Pedoman Umum Musabaqah Tilawatil Qur’an Nasional yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, dalam Bab III Pasal 4 ditegaskan bahwa peserta yang telah mengikuti musabaqah di suatu daerah tidak dibenarkan mengikuti musabaqah di daerah lain dalam satu tahun berjalan.
“Ketentuan itu membentengi prinsip bahwa seorang peserta hanya boleh mewakili satu wilayah dalam satu periode lomba,” tegasnya.
Ketika MTQ dan FSQ digabung dalam satu rangkaian event resmi kabupaten, maka meskipun kedua cabang berada di bawah lembaga berbeda (LPTQ untuk MTQ, LASQI untuk FSQ), peserta tetap harus tunduk pada satu sistem kafilah dan menggunakan satu surat mandat wilayah asal mereka.
Karena itu, surat mandat yang diterbitkan ganda dari dua wilayah berbeda dalam satu event dianggap tidak sah secara administratif.
Peserta dengan mandat ganda berisiko didiskualifikasi oleh panitia penyelenggara apabila terbukti melanggar ketentuan administrasi lomba.
Dari sisi regulasi, apabila terdapat indikasi pemalsuan data, pemalsuan tanda tangan, atau manipulasi surat mandat, tindakan tersebut dapat diproses secara hukum sesuai Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
Namun apabila mandaat ganda terjadi karena kesalahan administratif atau pelaksanaan internal yang lemah, konsekuensinya lebih bersifat administratif dan sanksi di ranah penyelenggaraan.
Menyoal pendanaan, Pemerintah Kabupaten melalui APBD telah mengalokasikan dana sebesar Rp 1,46 miliar untuk mendukung pelaksanaan MTQ–FSQ tersebut.
Alokasi dana ini mencakup berbagai pos kebutuhan teknis seperti akomodasi peserta, perlengkapan lomba, panggung, serta hadiah dan operasional lainnya.
Anggaran sebesar itu kerap disebut dalam sambutan resmi dan pemberitaan bahwa kegiatan ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah. (dilaporkan bahwa APBD Kotim mengalokasikan Rp 1,46 miliar)
Besarnya alokasi dana tersebut otomatis menjadi standar harapan publik dan tolak ukur bagi penyelenggaraan di masa mendatang.
“Apabila di tahun selanjutnya anggaran tetap besar namun temuan seperti mandat ganda dan penyaluran uang saku yang tidak jelas masih terjadi, maka kredibilitas penyelenggaraan akan terus dipertanyakan,” beber peserta yang mempertanyakan.
Kasus peserta ganda antar wilayah, ditambah dengan uang saku yang belum dicairkan, menjadikan MTQ–FSQ 2025 sebagai titik evaluasi penting.
Kendati demikian, mereka berharap agar Publik, peserta, dan pemangku kebijakan berharap agar ke depan sistem verifikasi dokumen diperketat, transparansi laporan keuangan ditingkatkan, dan semua pihak bertanggung jawab agar marwah kegiatan keagamaan ini tetap terjaga.