Mantan anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, didakwa menerima uang senilai USD 2,640 juta atau sebesar Rp 40 miliar terkait kasus proyek BTS 4G Bakti Komindo. Uang tersebut diterima Qosasi agar dia memberikan hasil wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam proyek tersebut.
“Terdakwa Achsanul Qosasi selaku anggota III BPK RI dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu menguntungkan Terdakwa sebesar USD 2.640.000 atau sebesar Rp 40 miliar secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya,” ujar jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 07 Maret 2024.
Uang tersebut diterima Qosasi dari mantan Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama yang bersumber dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan atas perintah mantan Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif.
Jaksa mengatakan Achsanul Qosasi menyalahgunakan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi.
Penerimaan uang ini berawal ketika Achsanul Qosasi bertugas mengaudit keuangan program Kominfo pada 2020. Salah satunya, Bakti Kominfo yang memiliki program BTS/Lastmile Project berupa Pengadaan BTS 4G dan Infrastruktur Pendukung Kemkominfo Tahun 2021, Pengadaan BTS tersebut dilaksanakan dengan skema belanja modal (capex) dan dengan target kumulatif sebanyak 7.904 site, yang direncanakan pembangunan pada 2020 sebanyak 639 site BTS 4G, 2021 sebanyak 4.200 site BTS 4G, 2022 sebanyak 3.065 site BTS 4G sehingga total sebanyak 7.904 site BTS 4G.
Dalam pemeriksaan itu, temuan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) 2021 antara lain:
– Proses perencanaan, pemilihan jenis kontrak, dan pelaksanaan kontrak penyediaan BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
– Niai antara kontrak pembelian berbeda dan kontrak payung pembangunan BTS 4G Tahun 2021 untuk paket 1, paket 2, dan paket 3.
– Potensi pemborosan atas komponen biaya dalam BoQ kontrak payung sebesar Rp 1.550.604.887.030 (triliun).
– Lokasi lahan pembangunan BTS belum seluruhnya memperoleh izin IMB dan didukung dengan surat perjanjian pinjam pakai lahan.
– Pembangunan BTS 4G di Kepulauan Riau belum didukung dengan amendemen kontrak pembelian.
– Potensi keterlambatan penyelesaian pekerjaan proyek BTS 4G dan potensi pengenaan denda keterlambatan pada paket 1 tahap 1A dan paket 2 tahap 1A
Jaksa menyebutkan selanjutnya laporan temuan pemeriksaan di PDTT tersebut dituangkan dalam konsep laporan hasil pemeriksaan (KHP) dengan beberapa, yakni perubahan judul dan hilangnya konsep temuan pemeriksaan.
“Bahwa Pemeriksaan LK 2021 yang mengacu pada PDTT 2021, Klausul Kontrak tentang Batasan denda maksimal sebesar 5% dari nilai kontrak per site tidak sesuai dengan Perdirut BAKTI Nomor 17 Tahun 2020 pada Pasal 35 Ayat (2) yang tidak membatasi besaran denda keterlambatan dan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 batasan maksimal denda sebesar 5% telah dihapus dan tidak ada pembatasan atas jumlah hari denda keterlambatan, sehingga pengenaan denda yang harus bayarkan penyedia yang telah dihitung adalah sebesar Rp 819.476.322.097 (miliar),” jelas jaksa.
Atas hasil PDTT 2021 tersebut, kata jaksa, Achsanul Qosasi memanggil Anang Achmad Latif. Qosasi mengatakan akan ada PDTT lanjutan terhadap proyek BTS dan meminta Anang menyiapkan Rp 40 miliar.
“Terdakwa Achsanul Qosasi memanggil Anang Achmad Latif sekitar pertengahan bulan Juni 2022 sekitar sore hari, di ruangannya di kantor BPK Slipi, kemudian terdakwa Achsanul Qosasi mengatakan kepada Anang Achmad Latif ‘sudah baca draf laporan hasil pemeriksaan yang disiapkan oleh tim?’, kemudian Anang Achmad Latif menjawab ‘sudah pak, sangat memberatkan Saya sudah membaca Draf LHP terhadap Laporan Keuangan Tahun 2021, dan LHP PDTT 2021 dan keduanya memberatkan (dalam hal banyak temuannya)’, dan terdakwa menyampaikan ‘akan ada PDTT Lanjutan terhadap BTS’,” ujar jaksa.
“Mendengar itu, Anang Achmad Latif hanya terdiam, kemudian terdakwa mengatakan ‘tolong siapkan Rp 40 miliar’, sambil menyodorkan kertas yang bertulisan nama penerima dan nomor telepon. Terdakwa mengatakan ‘ini nama dan nomor telepon penerimanya dan kodenya ‘garuda’,” imbuh jaksa.
Setelah mendapat perintah dari Achsanul Qosasi, Anang pun menghubungi Irwan dan Windi Purnama. Anang meminta Irwan dan Windi menyiapkan Rp 40 miliar.
Kode ‘Garuda’ Saat Penyerahan Uang
Singkat cerita, penyerahan uang pun terjadi pada 19 Juli 2022. Uang diserahkan Windi kepada orang kepercayaan Achsanul Qosasi bernama Sadikin Rusli di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Penyerahan uang juga dilakukan dengan hati-hati, keduanya bertemu dengan setelah saling mengucap kode rahasia, yakni ‘garuda’.
“Sadikin Rusli mendapat telepon dari Windi Purnama mengatakan ‘Bapak di mana?’, Sadikin Rusli menjawab ‘ketemu di lantai 5 Grand Hyatt’, sekitar 20 menit kemudian setelah Sadikin Rusli sampai Hotel Grand Hyatt Jakarta, Sadikin Rusli turun ke lantai 5 di Cafe yang ada kolam renangnya, Sadikin Rusli duduk memesan minuman kemudian tidak lama di sapa seseorang, setelah dekat, Windi Purnama mengatakan ‘garuda’, Sadikin Rusli menjawab ‘garuda’,” ungkap jaksa.
Setelah saling memperkenalkan diri, Windi mengajak Sadikin turun ke Basement P1. Di situ, Windi memberikan koper berisi uang Rp 40 miliar ke Sadikin. Setelah uang di rangan, Sadikin langsung menghubungi Achsanul Qosasi.
Jaksa mengatakan Sadikin Rusli melihat koper tersebut berisi uang dengan pecahan USD 100 dengan catatan yang menyatakan ‘Rp 40 miliar’. Selanjutnya, Qosasi sampai di hotel tersebut dan membawa pergi koper berisi uang tersebut.
“Bahwa alasan Anang Achmad Latif memberikan uang tersebut karena ketakutan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi, maka BPK akan memberikan penilaian/temuan yang merugikan proyek BTS 4G seperti kemahalan harga, kelebihan spesifikasi (over-spec), inefisiensi. Komunikasi dan informatika tahun 2021,” ucap jaksa.
Jaksa menyebutkan, setelah uang itu diterima Qosasi, dia pun langsung membuat PDTT lanjutan.
“Bahwa setelah Terdakwa Achsanul Qosasi menerima uang sebesar Rp 40 miliar melalui Sadikin Rusli, untuk menindaklanjuti yang disampaikan oleh Terdakwa Achsanul Qosasi kepada Anang Achmad Latif pada tanggal 6 Juli 2022 tersebut terkait akan ada PDTT lanjutan, maka Aqsanul Qosasi menyetujui P2 dan Konsep Surat Tugas yang telah dibuat oleh Tim yang diajukan secara berjenjang, selanjutnya Terdakwa Achsanul Qosasi menandatangani Surat Tugas Nomor: 139/ST/V-XVI.3/09/2022 tentang Pemeriksaan Kepatuhan atas Persiapan, Penyediaan, dan Pengoperasian Base Transceiver Station (BTS) 4G Tahun Anggaran 2022 pada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika selama 45 hari sejak tanggal 5 September 2022,” kata jaksa.
Menurut jaksa, pemeriksaan kepatuhan atas persiapan, penyediaan, dan pengoperasian BTS 4G Tahun Anggaran 2022 pada Bakti Kominfo tidak terdapat dalam rencana kerja pemeriksaan (RKP) awal Auditorat III C Semester II tahun 2022, melainkan berdasarkan disposisi Achsanul Qosasi saja yang menyatakan “n “bahwa BPK akan memeriksa dalam semester II 2020”.
“Bahwa perbuatan Terdakwa Achsanul Qosasi selaku Anggota III BPK RI berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya,” tegas jaksa.
Atas hal tersebut, Achsanul Qosasi melanggar Pasal 12 huruf e atau kedua Pasal 5 ayat 2 atau ketiga Pasal 11, atau keempat Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.