Asmara memang sangat menyenangkan sesama pasangan, tapi salah satu dari sejuta rasa itu adalah sengsara apalagi jika tak direstui.
Lucia Reiningtyas, 25 tahun, pernah mengalami masa suram asmara itu sekitar enam tahun lalu. Orangtuanya tak suka kekasihnya lantaran perbedaan status sosial.
“Dia memang cuma sekolah sampai SMA, enggak lanjut kuliah karena adiknya banyak. Biaya untuk sekolahnya dikasihkan ke adiknya. Orangtua [juga] menganggap pekerjaannya enggak mapan,” ungkap perempuan yang biasa disapa Rei ini.
Meski tak direstui, wanita yang kini menjadi jurnalis ini nekat mempertemukan sang kekasih dengan orangtuanya.
Alih-alih mendapat respons positif, ibunya tetap kerap menyindir pacarnya. Rei sempat kesal dan kabur dari rumah selama 2 minggu.
Namun, orangtuanya bergeming,sang pacar akhirnya menyerah dan mereka pun putus di bulan keempat setelah mereka menjalin hubungan.
Perbedaan juga menjadi masalah bagi hubungan Hana Eliza (32) dan pacarnya. Sejak Hana remaja, orangtuanya telah mewanti-wanti agar tidak menjalin asmara dengan pria yang berbeda agama dan suku.
Namun, apa daya, ia jatuh hati kepada pria dengan latar belakang yang terlarang tadi.
“Papaku penginnya yang seagama, sopan, dan orang Jawa. Satu-satunya pacar yang direstui ya cuma suamiku,” kata Hana yang saat ini memilih menjadi ibu rumah tangga.
Faktor Penyebab Hubungan Tak Direstui
Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, menyampaikan, ada banyak alasan orangtua tidak merestui hubungan sang anak.
Alasan tersebut bisa disebabkan oleh sang anak, pasangan sang anak, atau dari orangtua itu sendiri.
“Misalnya pacarnya terlihat tidak sesuai kriteria, belum memiliki pekerjaan, enggak sopan, penampilannya terlihat ugal-ugalan, atau bisa karena perbedaan agama dan suku. Kalau dari sisi anak, bisa jadi orangtua anggap anaknya belum dewasa untuk berpacaran,” ungkap Anna.
Dari sisi orangtua, Anna menyampaikan, ada beberapa orangtua yang khawatir akan ditinggalkan oleh buah hatinya. Selain itu, faktor budaya juga bisa menjadi alasan tak adanya restu untuk berpacaran.
“Misalnya ada beberapa agama atau budaya yang melarang pacaran, tapi langsung menikah melalui proses perkenalan yang berbeda dengan pacaran. Atau bisa saja orangtua merasa situasinya kurang pas: ketika ada masalah keluarga, tiba-tiba anak mengenalkan pacarnya,” ujar Anna.
Kisah Bambang Sutrisno adalah contoh dari uraian Anna. Ia mesti berjuang 11 tahun untuk bisa menikahi kekasih yang kini menjadi istrinya, Tata.
“Awalnya enggak disetujui karena waktu itu dianggap masih remaja, domisili, masa lalu orangtua, dan masalah adat. Biasalah, orang Jawa kan ada semacam perhitungan weton kayak gitu,” ungkap Bambang.
Ia mulai berpacaran dengan Tata saat SMA. Mereka berdua adalah tetangga satu desa sekaligus teman satu sekolah. Selepas lulus SMA, mereka harus menjalani hubungan jarak jauh karena Tata pindah ke Jakarta.
Menjalin hubungan jarak jauh ditambah tak mengantongi restu bukanlah hal yang mudah dijalani.
Apalagi selalu ada benturan waktu antara pekerjaan Bambang sebagai pemeriksa jalur kereta api dan jam perkuliahan Tata. Waktu libur Bambang pun tak banyak.
Meski hampir menyerah, mereka bertahan dengan saling meyakinkan satu sama lain. Akhirnya, pada 2017 Bambang memberanikan diri untuk menikahi Tata.
Orangtua Harus Membuka Telinga
Setiap orangtua pasti ingin anaknya mendapatkan yang terbaik. Namun, menurut psikolog Anna, orangtua harus mengingat bahwa anaklah yang menjalani kehidupan mereka.
“Orangtua jangan terlalu masuk ke dalam kehidupan anak. Memberi pertimbangan adalah hal yang baik, namun bukan mengatur kehidupan anak,” kata Anna.
Ketika tak setuju dengan hubungan asmara sang buah hati, ada baiknya orangtua tak menutup mata. Konselor percintaan, Arabella Russel, dalam artikel berjudul “I Don’t Like My Child’s Partner-What Do I Do” menyatakan orangtua harus berpikir jernih untuk mencari tahu alasan ketidaksukaan mereka terhadap pasangan anaknya.
Ketika tidak merestui hubungan anaknya, orangtua harus memiliki alasan kuat. Jika memang hubungan atau kekasih sang anak membahayakan, wajar orangtua turut campur.
Namun, jika tak ada soal yang sungguh membahayakan anak, orangtua harus memeriksa penilaiannya.
“Jika Anda membesarkan anak Anda menjadi anak yang mandiri, Anda harus menerima bahwa inilah yang mereka inginkan,” tulis Russel.
Anak Harus Dewasa
Anna Surti Ariani mengatakan anak tetap harus introspeksi dengan hubungan mereka saat tak mendapat lampu hijau.
“Anak harus melihat kriteria, apa sih yang memang sudah perlu. Orangtua ingin anaknya punya pacar yang seperti apa, kriteria yang diinginkan bagaimana. Kalau memang kriteria kita beda dengan orangtua, tunjukkan prestasi kekasih kita,” tutur Anna.
Memang tak mudah untuk memperjuangkan pasangan di depan orangtua, tapi Anna mengingatkan kepada sang anak untuk tidak lari dari masalah.
“Jadi menurut saya, tetap dahulukan mencari restu. Jangan kemudian kabur dan yakin bahwa pilihan dia baik. Karena yang sering terjadi, si anak yang sudah dewasa ini kemudian merasa kenapa orangtua enggak setuju, kemudian kabur dengan pacarnya. Ini bukan solusi,” tegas Anna.
Bagaimana cara menyampaikan? Orangtua pasti memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus saat tak merestui hubungan asmara anaknya.
Menyampaikan pendapat masing-masing merupakan solusi terbaik. Jika hubungan orangtua dan anak tak dekat, orangtua maupun anak bisa menyampaikan melalui orang yang bisa dipercaya oleh kedua belah pihak.
“Balik lagi saran yang sama seperti orangtua. Anak juga membutuhkan orang yang bisa menyampaikan pendapat agar didengar orangtuanya, dan meyakinkan [bahwa] oke kok pacaran sama si ini,” ujar Anna.
Jika antara orangtua dan anak ingin menyampaikan secara langsung, gunakan waktu tepat untuk berbicara.
Ada baiknya membuat janji saat hendak berbicara, sehingga baik orangtua maupun anak berada dalam kondisi nyaman.
“Jangan misal orangtua lagi masak, anak ngomong. Atau saat orangtua sedang sibuk banget. Perhatikan kondisi psikologis orangtua juga, jangan [bicara saat] keluarga lagi ada masalah,” kata Anna.
Anna juga mewanti-wanti agar orangtua dan anak sama-sama menggunakan kata-kata positif dan tidak menghakimi. Hindari juga ledakan emosi, imbuhnya.