Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membeberkan bahwa saat ini tercatat sebanyak 1.517 Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias Tambang Illegal tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah dengan jumlah terbanyak, yakni 396 titik aktivitas tambang ilegal.
Wakil Direktur Tindak Pidana Tertentu (Wadirtipidter) Bareskrim Polri Feby Dapot Hutagalung mengatakan, hampir seluruh daerah di Indonesia terdapat aktivitas pertambangan tanpa izin. Berdasarkan catatan Bareskrim, aktivitas PETI itu tersebar di 35 provinsi di Tanah Air, dengan berbagai jenis komoditas seperti emas, pasir, batu bara, dan timah.
“Dari hasil pemetaan kami, Sumatera Utara termasuk wilayah dengan jumlah tambang ilegal paling tinggi. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang serius,” ujar Feby dalam keterangan persnya.
Menanggapi hal tersebut, Aliansi Mahasiswa Pemuda Merdeka (AMPM) menyatakan bahwa data tersebut menguatkan dugaan mereka selama ini bahwa Mandailing Natal (Madina) merupakan salah satu daerah penyumbang terbesar aktivitas tambang ilegal di Sumatera Utara.
Dalam rilis yang diterima media, perwakilan AMPM, Sutan Paruhuman, menyebut bahwa hasil pemetaan Polri sejalan dengan fakta lapangan di sejumlah kecamatan di Madina yang diduga menjadi lokasi tambang ilegal.
“Dari rilis Polri, Sumatera Utara menjadi wilayah dengan titik tambang ilegal tertinggi di Indonesia, mencapai 396 titik. Kami menduga Mandailing Natal adalah salah satu penyumbang terbesar karena maraknya aktivitas tambang tanpa izin yang sudah lama terjadi namun belum tersentuh hukum secara serius,” ujar Sutan Paruhuman, Kamis (23/10/2025).
AMPM menilai lemahnya pengawasan dari aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah menjadi faktor utama suburnya aktivitas tambang ilegal di Madina. Mereka menyoroti bahwa sebagian aktivitas bahkan beroperasi di kawasan hutan lindung.
Lebih lanjut, AMPM mengutip pernyataan Polri bahwa banyak aktivitas tambang ilegal di bekingi dari berbagai pihak.
“Sebagian besar ada yang dibekingi oleh oknum, baik oknum Polri, kemudian ada yang dibekingi oleh “mohon maaf” dari partai, ada yang dibekingi oleh tokoh masyarakat atau tokoh adat setempat dan seterusnya,” tandas Sutan Paruhuman.
Menurut AMPM, pernyataan tersebut memperkuat pandangan bahwa penegakan hukum terhadap PETI tidak bisa hanya menyasar pelaku di lapangan, tetapi juga oknum pelindung dan pihak-pihak yang diuntungkan dari kegiatan ilegal tersebut.
“Kami sudah menyampaikan laporan ke instansi terkait, termasuk ke DPD Partai Gerindra Sumatera Utara agar diteruskan kepada Presiden RI. Namun hingga kini belum terlihat tindakan nyata untuk menghentikan praktik PETI di Madina,” tegasnya.
AMPM mendesak agar hasil pemetaan Polri dijadikan dasar tindakan tegas dan transparan, terutama dalam menelusuri jaringan perlindungan terhadap tambang ilegal di Sumatera Utara, termasuk di Mandailing Natal.
“Kami akan terus menekan dan memantau kinerja aparat penegak hukum di tingkat daerah agar tidak ada pembiaran terhadap pelaku tambang ilegal. Mandailing Natal tidak boleh terus menjadi korban dari kerakusan oknum-oknum tertentu,” pungkas AMPM dalam pernyataannya.
AMPM juga berkomitmen untuk menyerahkan kembali data lapangan yang mereka miliki ke Mabes Polri, sebagai bentuk dukungan terhadap penegakan hukum dan transparansi publik di wilayah Mandailing Natal.

