Larangan penyelenggaraan Road Race di kawasan Taman Kota Sampit kembali bergema keras setelah berbagai pihak menyuarakan keberatan atas rencana event yang dijadwalkan pada 13–14 Desember 2025.
Polemik rencana penyelenggaraan road race di Taman Kota Sampit kian memanas setelah Surat Larangan Bupati nomor 500/304/SETDA.EK/V/2024 kembali menjadi rujukan utama.
Surat yang sejak 2024 berdiri seperti pagar batas itu menegaskan bahwa Jalan Yos Sudarso sebagai jantung kawasan pelayanan publik tidak boleh digunakan untuk kegiatan besar yang berpotensi mengganggu ketertiban.
Surat larangan yang diterbitkan Bupati Kotawaringin Timur pada 2024 kini kembali menjadi landasan kuat penolakan, mengingat lokasi yang dipilih berada tepat di tengah area vital.
Tersorot mulai dari Rumah Sakit Obor Terapung, Sekolah Taruna Jaya, TK di sekitarnya, hingga Gereja Katolik Paroki St. Yohanes Don Bosco.
Kawasan yang sehari-hari dituntut menghadirkan ketenangan justru terancam berubah menjadi hiruk-pikuk kebisingan mesin balap.
Bahaya terbesar bukan hanya sekadar bising. Jika Road Race tetap dipaksa digelar di lokasi tersebut, suasana tenang yang menjadi kebutuhan dasar pelayanan kesehatan akan tergerus habis.
Rumah Sakit Obor Terapung yang menangani sedikitnya 50 pasien setiap hari akan terdampak langsung. Ada 9 perawat, 1 bidan, 8 dokter, 8 apoteker dan 2 admin yang bertugas menjaga keselamatan dan kenyamanan pasien. Mereka bekerja dalam ritme yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
Getaran mesin dan suara knalpot akan menembus dinding ruang perawatan, mengoyak ketenangan yang seharusnya tidak boleh ditawar.
Seorang perawat Rumah Sakit Obor Terapung bahkan mengungkapkan bahwa masalah kebisingan bukan satu-satunya persoalan.
Ia menjelaskan bahwa setiap kali ada event besar di Taman Kota, rumah sakit lah yang ikut menanggung kerusakan dan kerepotan. Menurutnya, pernah terjadi pagar rumah sakit rusak, sampah menumpuk hingga ke halaman, dan bahkan ada laporan kehilangan barang di area fasilitas kesehatan tersebut.
“Setiap ada keramaian besar di Taman Kota, kami yang kena imbasnya. Pagar pernah rusak, sampah berserakan, bahkan ada kehilangan. Bagaimana pasien bisa merasa aman kalau lingkungan kami dibuat seperti ini,” ucap Perawat Rumah Sakit Obor yang tidak ingin disebutkan namanya.
Di sisi lain, anggota DPRD Kotawaringin Timur, Hendra Sia, menilai rencana ini berpotensi menjadi preseden buruk bila tidak segera dihentikan.
Ia menegaskan bahwa keselamatan publik harus menjadi prioritas tertinggi, terlebih karena kawasan tersebut merupakan titik berkumpulnya masyarakat yang membutuhkan pelayanan dasar.
“Ini bukan sekadar soal setuju atau tidak setuju. Ini soal keselamatan. Lokasinya diapit rumah sakit, gereja, sekolah, dan TK. Jika acara tetap dipaksakan, maka risiko gangguan bahkan kecelakaan bisa meningkat drastis,” katanya.
Komisi IV DPRD Kotim melalui Hj Mariani turut menyoroti polemik ini. Ia menyebut situasinya sebagai sebuah dilema yang tidak boleh disepelekan.
Menurutnya, Road Race memang dapat menjadi wadah prestasi bagi anak muda, namun penentuan lokasi harus mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis masyarakat sekitar.
“Ini dilema. Di satu sisi ini ajang prestasi, tetapi di sisi lain menimbulkan kecemasan publik karena berada di tengah layanan kesehatan dan tempat ibadah. Ketika suara mesin balap menutupi doa dan merusak ketenangan pasien, maka jelas lokasi ini tidak tepat,” ujarnya.
Situasi ini mengarah pada satu kesimpulan tegas: memaksakan Road Race di kawasan tersebut sama saja membuka pintu bagi potensi kericuhan dan mempermainkan keselamatan warga.
Ibarat menyalakan petasan di dalam ruang rawat inap, dampaknya tidak hanya bising, tetapi dapat menghancurkan ketenangan yang selama ini dijaga dengan susah payah.
Jika pemerintah dan panitia tidak segera mengalihkan lokasi, maka apa yang seharusnya menjadi ajang prestasi justru dapat berubah menjadi bumerang yang merusak kepercayaan publik.

