Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ada sebuah kisah yang menyayat hati tentang sebuah dusun kecil bernama Dukuh Bengkuang yang dulu berada di wilayah bantaran sungai Kecamatan Cempaga, kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Dusun atau Dukuh Bengkuang menjadi sorotan nasional setelah warga-nya mengalami kesulitan karena lahan mereka diambil oleh PT Windu Nabatindo Lestari (WNL), sebuah perusahaan perkebunan sawit.
Warga Lubuk Pakah kearifan lokal namanya atau Dukuh Bengkuang telah tinggal di daerah tersebut selama puluhan tahun, menggarap lahan dan hidup dari hasil bumi.
Namun, tanpa kesepakatan yang jelas, lahan mereka diambil oleh PT WNL pada tahun 1997 silam, membuat mereka kehilangan sumber penghidupan. Warga Dukuh Bengkuang merasakan bahwa hak-hak mereka tidak dihormati dan tidak ada kompensasi sebagaimana mestinya sebuah perusahaan.
Langit yang cerah di bumi Habaring Hurung terselimuti lembaran daun kelapa sawit yang kian subur. Berbanding jauh dengan kabar masyarakat yang kini mencari sesuap nasi kian sulit.
Mulut mereka terdiam, tapi mata dan kegigihan warga Dukuh Bengkuang tidak tinggal diam. Mereka berjuang untuk mendapatkan keadilan dan hak-hak mereka yang dirampas.
Dengan dukungan dari organisasi masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia, mereka akan terus membawa kasus ini dan meminta pemerintah daerah untuk menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh PT WNL.
Syafruddin, mantan Sekretaris Desa Pantai Harapan, telah membenarkan adanya Dukuh Bengkuang. Menurutnya, perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit telah menutup mata seakan-akan Dukuh Bengkuang tidak pernah ada.
“Perusahaan ini telah melangsungkan perkebunan sawit hingga replanting lagi, tanpa memperhatikan hak-hak warga Dukuh Bengkuang,” kata Syafruddin, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang kondisi desa dan warga sekitar.
Dibalik ucapan sosok Syafruddin yang bersahaja itu, menyimpan ribuan kata yang tidak mampu terucapkan tentang Dukuh Bengkuang yang menyimpan jutaan rahasia tidak ketahui banyak orang.
Melalui coretan penanya tahun 1990 yang menyurati Jerman dengan sapaan Dinda, selayaknya sebagai sekretaris desa pantai harapan menjalankan tugasnya. Meminta pendataan kepada penduduk di dukuh Bengkuang, dengan harapan dapat menjadi penduduk yang terdata.
“Saya bersurat karena melihat sesuai SK Camat tahun 1982 itu,” ucapnya.
Berjalannya waktu roda kehidupan, masyarakat Dukuh Bengkuang yang hidup di bantaran sungai itu kehilangan sosok pemimpin dan tak ada penerus. Masyarakat melakukan imigrasi ke sebuah tempat yang berlokasi di Desa Pundu.
Hampir 27 tahun hati masyarakat terguncang, mengingat pedihnya sebuah ketamakan manusia dengan mengambil lahan Dukuh Bengkuang. Hati siapa yang tidak mempunyai kemanusiaan atas ketidakadilan ini?
Namun, pernyataan Syafruddin ini bertolak belakang dengan pernyataan Muhammad Nasir, yang tidak lain adalah anak kandungnya sendiri, kini bertugas sebagai perangkat desa pantai harapan menyebutkan bahwa Dukuh Bengkuang tidak pernah ada. Menurut Nasir, tidak ada SK Camat yang menyebutkan adanya dukuh tersebut.
“Saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan Dukuh Bengkuang, karena tidak ada catatan resmi tentang adanya dukuh tersebut,” kata Nasir.
Namun, tim penasihat hukum LBH FERADI WPI, Deden dan kawan-kawan, membawa bukti adanya catatan serta menemukan surat SK Camat Cempaga Nomor 593/146/III/PEM tanggal 16 Maret 2009 yang membuktikan keberadaan Dukuh Bengkuang itu benar adanya.
Sontak, gemuruh masyarakat digedung wakil rakyat pada rapat dengar pendapat (RDP) saksi langkah kecil kaki mereka dari desa ke kota untuk membuka kebenaran. Ini membantah pernyataan Muhammad Nasir yang menyebutkan bahwa Dukuh Bengkuang tidak pernah ada.
Di gedung DPRD Kotim, masyarakat Dukuh Bengkuang seperti terbungkam akibat keserakahan perusahaan. Mereka merasa bahwa hak-hak mereka tidak dihormati dan tidak ada keadilan bagi mereka.
“Kami hanya ingin hak-hak kami dipenuhi, tapi perusahaan tidak peduli dengan nasib kami,” kata salah satu warga Dukuh Bengkuang dengan nada sedih.
Warga Dukuh Bengkuang menetes air mata saat mengingat kembali kehidupan mereka sebelum perusahaan mengambil lahan mereka.
“Kami dulu hidup dengan damai dan sejahtera, tapi sekarang kami harus berjuang untuk mendapatkan hak-hak kami yang dirampas,” kata salah satu warga Dukuh Bengkuang dengan air mata berlinang.
PT Windu Nabatindo Lestari (WNL) telah mengabaikan surat SP2K dari Komnas HAM RI dan surat dari Gubernur Kalimantan Tengah.
Hal ini dianggap tidak menghormati lembaga Negara sebagaimana mestinya. Perusahaan ini seakan-akan tidak peduli dengan hak-hak warga Dukuh Bengkuang dan tidak mau memenuhi permintaan untuk mediasi dan klarifikasi, hingga tahap penyelesaian.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI telah mengirimkan surat kepada Gubernur Kalteng dan Pemkab Kotim, meminta keterangan terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap warga Dukuh Bengkuang.
Surat tersebut berisi permintaan untuk memberikan keterangan tentang proses mediasi, dasar hak PT WNL beroperasi, lokasi Dukuh Bengkuang, dan upaya pemenuhan hak warga.
Komnas HAM RI harus memberlakukan hukum yang tegas terhadap perusahaan yang melanggar hak asasi manusia. Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, perusahaan yang terbukti melanggar hak asasi manusia dapat dikenakan sanksi pidana dan perdata.
Dari secercah harapan masyarakat yang terdata 36 Kepala keluarga kini menjadi 44 kepala keluarga dari hasil FERADI WPI yang rela korbankan mencari kebenaran dan mengupayakan hak-hak masyarakat terpenuhi.
Mengapa keadilan harus ditutupi? Padahal kebenaran sudah didepan mata. Telah cukup lama masyarakat Dukuh Bengkuang menanti keadilan.
Mari kita dukung warga Dukuh Bengkuang dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan hak-hak mereka yang dirampas oleh PT WNL. Hak-hak mereka yang dirampas harus dipulihkan dan keadilan harus ditegakkan.
Eksplorasi konten lain dari MentayaNet
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.