Kasus Dukuh Bengkuang Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah yang kini hanya tinggal nama menjadi perhatian serius Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, hal tersebut dengan dua kali mengirim surat ke Pemerintah Daerah setempat.
Setelah menerima surat dari Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah , Komnas HAM RI meningkatkan Surat Perkembangan Penanganan Kasus (SP2K) dengan menyurati PT WNL Nomor : 312/PM.00/SPK.01/IV/2025 Permintaan Keterangan atas Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Warga Dukuh Bengkuang atas Aktivitas Perkebunan Sawit oleh PT Windu Nabatindo Lestari pada tanggal 28 April 2025, keterangan harus disampaikan dalam waktu 15 hari kerja.
Sementara itu Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur juga diminta juga oleh Komnas HAM RI melalui Surat Nomor : 311/PM.00/SPK.01/IV/2025 Permintaan Keterangan atas Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Warga Dukuh Bengkuang atas Aktivitas Perkebunan Sawit oleh PT Windu Nabatindo Lestari pada tanggal 28 April 2025, keterangan harus disampaikan dalam waktu 15 hari kerja.
Komisoner Pemantau dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) Uli Parulin Sihombing mengatakan dalam surat tersebut, telah menerima pengaduan Sdr. Deden Nursida dkk., dari Kantor Hukum FERADI WPI, selaku penasihat hukum dari Warga Dukuh Bengkuang, Desa Pantai Harapan, Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, mengenai dugaan pelanggaran HAM dalam aktivitas perkebunan sawit oleh PT Windu Nabatindo Lestari (PT WNL).
Dijelaskannya, pada pokoknya, Pengadu menyampaikan dugaan pelanggaran HAM yang dimaksud terjadi karena aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan sawit oleh PT WNL sejak 1997, yang mengisolasi dan kemudian menghilangkan Dukuh Bengkuang. Lebih lanjut, belum terdapat ganti rugi perusahaan terhadap tempat tinggal warga masyarakat petani penggarap yang kini diduga berada di area Hak Guna Usaha (HGU) PT WNL Pengadu menyampaikan detail pengaduan sebagai berikut:
a. Dukuh Bengkuang dulunya merupakan bagian dari wilayah administrasi Desa Pantai Harapan,Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Dukuh tersebut berdiri didasari oleh Surat Keputusan Camat Cempaga nomor 03/URPEM/IV/1982 tertanggal 15 April 1982 dan nomor 732/URPEM/VIII/1984 tertanggal 20 Agustus 1984;
b. PT WNL pada 1997 datang untuk membuka perkebunan kelapa sawit dan melakukan pembebasan lahan garapan petani di lokasi sekitar proyek perkebunan, di antaranya, termasuk Dukuh Bengkuang di Desa Pantai Harapan;
c. Penggantian tanam tumbuh dan bekas lahan garapan petani dilakukan oleh perusahaan kepada warga Dukuh Bengkuang secara bertahap;
d. Namun demikian, hingga saat ini tidak terdapat upaya relokasi maupun ganti rugi atas tempat tinggal dan fasilitas umum maupun fasilitas sosial yang terdampak dari aktivitas PT WNL di Dukuh Bengkuang. Lokasi permukiman warga masyarakat dimaksud diduga berada dalam area HGU PT WNL yang membatasi ruang gerak masyarakat;
e. Akibat yang ditimbulkan dari peristiwa ini adalah masyarakat Dukuh Bengkuang merasa terisolasi dan terintimidasi yang membuat beberapa dari mereka memutuskan keluar dari lokasi tersebut. Masyarakat kemudian tidak dapat hidup dengan layak sejak saat itu.
f. Pengadu memohon untuk dilakukan mediasi dan penyelesaian permasalahan berupa biaya kemanusiaan serta relokasi pemukiman maupun ganti rugi terhadap warga Dukuh Bengkuang yang terdampak.
Lebih lanjut, Komnas HAM juga telah mendapatkan keterangan pihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang menjelaskan upaya mediasi pada 01 November 2024, dan peninjauan lapangan bersama pada 04 Desember 2024.
“Hasil tinjauan lapangan tersebut disimpulkan beberapa hal, antara lain, terkait kebenaran keberadaan eks Dukuh Bengkuang yang berada dalam areal kerja PT WNL (BGA Group). Keberadan PT WNL (PT BGA Group) yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi Dukuh Bengkuang, kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan keagamaan masyarakat eks Dukuh Bengkuang, belum terpenuhinya hak masyarakat eks Dukuh Bengkuang sejumlah 36 kepala keluarga (KK) oleh perusahaan, dan tidak ditandatanganinya Berita Acara hasil tinjauan lapangan oleh pihak perusahaan PT WNL dan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur,” lanjutnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dan sesuai fungsi pemantauan yang diatur dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Komnas HAM meminta saudara untuk :
1. Memberikan keterangan mengenai dasar perizinan PT WNL dalam melaksanakan aktivitas operasi di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah dibuktikan dengan dokumen terkait;
2.Memberikan keterangan mengenai proses ganti rugi terhadap tanah garapan, tempat tinggal yang layak, fasilitas umum serta sosial warga Dukuh Bengkuang yang terdampak oleh aktivitas perusahaan;
3.Memberikan keterangan terkait upaya yang telah dilakukan oleh PT WNL dalam menjamin partisipasi bermakna, dialog, dan penyelesaian permasalahan dengan warga Dukuh Bengkuang yang terdampak oleh aktivitas perusahaan;
4.Memberikan keterangan terkait dasar tidak ditandatanganinya Berita Acara hasil tinjauan lapangan yang dilakukan pada 04 Desember 2024;
5.Memberikan tanggapan terkait kemungkinan upaya penyelesaian permasalahan melalui mediasi HAM yang dapat dilakukan oleh Komnas HAM merujuk pada kewenangan Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 76 jo. Pasal 89 ayat (4) UU HAM jo. Pasal 22 Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI nomor 001/KOMNAS HAM/IX/2010, di mana pada prinsipnya, mediasi HAM berorientasi pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dan bertujuan mengupayakan penyelesaian terbaik dan perdamaian bagi para pihak yang sedang bersengketa, serta mediator dalam proses mediasi bersifat independen dan imparsial;
6.Menyampaikan keterangan tersebut ke Komnas HAM paling lambat 15 (lima belas) hari sejak surat ini diterima, dengan mencantumkan nomor surat ini dan agenda 157.413 di dalam surat tanggapan Saudara.
“Penting Komnas HAM menyampaikan, hak setiap orang untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak dijamin dalam Pasal 40 UU HAM,” tegasnya.
Lebih lanjut, korporasi dan aktor-aktor non-negara juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati HAM, yang berarti dilarang melakukan aktivitas yang mengganggu atau mengurangi penikmatan HAM yang diakui secara universal, yaitu dengan cara menghindari, mengurangi, mencegah, dan memulihkan dampak negatif
dari operasional korporasi atau tindakan aktor-aktor non-negara lain yang telah melanggar HAM, terutama dalam kaitannya dengan hak atas tempat tinggal.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 11 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak yang telah disusun Komnas HAM dan turut dikuatkan dalam Prinsip-Prinsip Umum Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan HAM, serta Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 13 tentang Bisnis dan HAM.
“Untuk itu, Komnas HAM meminta agar Saudara segera menindaklanjuti surat ini sebagai bagian dari upaya perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM di Indonesia sebagaimana Pasal 8 UU HAM,” pungkas Uli Parulin Sihombing.
Sampai berita ini terbit pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit PT windu nabatindo lestari dan Pemkab Kotim belum memberikan keterangan terkait jawaban ke Komnas HAM RI.
Eksplorasi konten lain dari MentayaNet
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.