Pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dan Festival Seni Qasidah (FSQ) tingkat Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) tahun 2025 menuai sorotan tajam dari anggota DPRD Kotim.
Ajang yang seharusnya menjadi sarana pembinaan nilai keagamaan itu kini justru menimbulkan kontroversi di kalangan peserta dan masyarakat.
Anggota DPRD Kotim dari Komisi III, Dadang H. Syamsu, menyampaikan kekecewaannya atas kisruh yang terjadi selama kegiatan berlangsung.
Ia menilai, MTQ dan FSQ adalah ajang syiar Islam yang mestinya dijalankan dengan ketulusan, kejujuran, serta tata kelola yang profesional.
“Saya sangat menyesalkan kalau kegiatan sebesar MTQ dan FSQ justru menjadi bahan pembicaraan karena adanya persoalan internal. Ini kegiatan keagamaan, jangan dinodai dengan kepentingan pribadi atau hal-hal yang mencoreng maknanya,” tegas Dadang dengan nada kesal, Senin (6/10/2025) di Gedung DPRD Kotim.
Salah satu polemik yang mencuat adalah dugaan adanya peserta ganda yang mewakili lebih dari satu kecamatan.
Dadang menilai, hal semacam itu jelas melanggar aturan resmi Pedoman Umum Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Nasional, yang menyebut setiap peserta hanya dapat mewakili satu kafilah sesuai surat mandat resmi.
“Kalau memang benar ada peserta yang mendapat dua mandat dari kecamatan berbeda, maka itu sudah tidak sah secara perlombaan. LPTQ harus berani menjelaskan dan menindaklanjuti. Jangan diam karena ini menyangkut kredibilitas ajang keagamaan,” ujarnya menegaskan.
Tak hanya itu, Dadang juga menyoroti belum tersalurkannya uang saku bagi peserta, pelatih, serta panitia dari Kafilah Kecamatan Baamang, termasuk mereka yang dikukuhkan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Kotim.
Hingga acara berakhir, seluruh pihak terkait dari kafilah tersebut dikabarkan belum menerima hak mereka.
“Informasinya, hingga acara selesai, peserta, pelatih, dan panitia dari Kafilah Baamang belum menerima uang saku. Ini bukan hal sepele, sebab kegiatan ini menggunakan anggaran publik yang nilainya mencapai Rp1,46 miliar. Dana rakyat harus dikelola dengan transparan dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Dadang tegas.
Menurutnya, permasalahan ini harus segera dijelaskan secara terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan di masyarakat.
Ia menilai bahwa kurangnya transparansi bisa merusak kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan yang seharusnya menjunjung nilai-nilai kejujuran dan akuntabilitas.
“Transparansi adalah kunci. Kalau penyelenggara memilih bungkam, masyarakat akan semakin bertanya-tanya. Jangan biarkan ajang bernilai religius seperti ini tercoreng oleh masalah administrasi,” imbuhnya.
Saat dikonfirmasi mengenai persoalan tersebut, Ketua LPTQ Kabupaten Kotawaringin Timur, Fajrurrahman, memilih bungkam dan belum memberikan tanggapan resmi.
Sikap ini disayangkan oleh Dadang, yang menilai bahwa komunikasi terbuka seharusnya menjadi langkah utama dalam menjaga nama baik lembaga.
“Kalau penyelenggara diam, justru publik akan semakin curiga. Yang diinginkan masyarakat hanyalah kejelasan dan tanggung jawab moral dari lembaga yang membawa nama baik daerah,” katanya.
Lebih jauh, Dadang menegaskan bahwa peristiwa ini harus menjadi evaluasi besar bagi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur dan LPTQ agar penyelenggaraan MTQ–FSQ di masa mendatang berjalan lebih tertib, transparan, dan fokus pada pembinaan keagamaan, bukan sekadar seremoni yang sarat kepentingan.
“MTQ dan FSQ adalah simbol kebanggaan umat. Jangan sampai tujuan mulia ini justru dikotori oleh kelalaian dan lemahnya manajemen. Tahun depan, harus ada perbaikan total,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Kabupaten Kotim dan LPTQ belum memberikan klarifikasi resmi terkait penyaluran uang saku peserta Kafilah Baamang maupun isu peserta ganda antar kecamatan.
Publik pun berharap agar pemerintah segera bersikap transparan demi menjaga marwah kegiatan keagamaan yang menjadi kebanggaan daerah tersebut.
Anggota DPRD Kotim dari Komisi III, Dadang H. Syamsu, menyampaikan kekecewaannya atas kisruh yang terjadi selama kegiatan berlangsung.
Ia menilai, MTQ dan FSQ adalah ajang syiar Islam yang mestinya dijalankan dengan ketulusan, kejujuran, serta tata kelola yang profesional.
“Saya sangat menyesalkan kalau kegiatan sebesar MTQ dan FSQ justru menjadi bahan pembicaraan karena adanya persoalan internal. Ini kegiatan keagamaan, jangan dinodai dengan kepentingan pribadi atau hal-hal yang mencoreng maknanya,” tegas Dadang dengan nada kesal, Senin (6/10/2025) di Gedung DPRD Kotim.
Salah satu polemik yang mencuat adalah dugaan adanya peserta ganda yang mewakili lebih dari satu kecamatan.
Dadang menilai, hal semacam itu jelas melanggar aturan resmi Pedoman Umum Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Nasional, yang menyebut setiap peserta hanya dapat mewakili satu kafilah sesuai surat mandat resmi.
“Kalau memang benar ada peserta yang mendapat dua mandat dari kecamatan berbeda, maka itu sudah tidak sah secara perlombaan. LPTQ harus berani menjelaskan dan menindaklanjuti. Jangan diam karena ini menyangkut kredibilitas ajang keagamaan,” ujarnya menegaskan.
Tak hanya itu, Dadang juga menyoroti belum tersalurkannya uang saku bagi peserta, pelatih, serta panitia dari Kafilah Kecamatan Baamang, termasuk mereka yang dikukuhkan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Kotim.
Hingga acara berakhir, seluruh pihak terkait dari kafilah tersebut dikabarkan belum menerima hak mereka.
“Informasinya, hingga acara selesai, peserta, pelatih, dan panitia dari Kafilah Baamang belum menerima uang saku. Ini bukan hal sepele, sebab kegiatan ini menggunakan anggaran publik yang nilainya mencapai Rp1,46 miliar. Dana rakyat harus dikelola dengan transparan dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Dadang tegas.
Menurutnya, permasalahan ini harus segera dijelaskan secara terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan di masyarakat.
Ia menilai bahwa kurangnya transparansi bisa merusak kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan yang seharusnya menjunjung nilai-nilai kejujuran dan akuntabilitas.
“Transparansi adalah kunci. Kalau penyelenggara memilih bungkam, masyarakat akan semakin bertanya-tanya. Jangan biarkan ajang bernilai religius seperti ini tercoreng oleh masalah administrasi,” imbuhnya.
Saat dikonfirmasi mengenai persoalan tersebut, Ketua LPTQ Kabupaten Kotawaringin Timur, Fajrurrahman, memilih bungkam dan belum memberikan tanggapan resmi.
Sikap ini disayangkan oleh Dadang, yang menilai bahwa komunikasi terbuka seharusnya menjadi langkah utama dalam menjaga nama baik lembaga.
“Kalau penyelenggara diam, justru publik akan semakin curiga. Yang diinginkan masyarakat hanyalah kejelasan dan tanggung jawab moral dari lembaga yang membawa nama baik daerah,” katanya.
Lebih jauh, Dadang menegaskan bahwa peristiwa ini harus menjadi evaluasi besar bagi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur dan LPTQ agar penyelenggaraan MTQ–FSQ di masa mendatang berjalan lebih tertib, transparan, dan fokus pada pembinaan keagamaan, bukan sekadar seremoni yang sarat kepentingan.
“MTQ dan FSQ adalah simbol kebanggaan umat. Jangan sampai tujuan mulia ini justru dikotori oleh kelalaian dan lemahnya manajemen. Tahun depan, harus ada perbaikan total,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Kabupaten Kotim dan LPTQ belum memberikan klarifikasi resmi terkait penyaluran uang saku peserta Kafilah Baamang maupun isu peserta ganda antar kecamatan.
Publik pun berharap agar pemerintah segera bersikap transparan demi menjaga marwah kegiatan keagamaan yang menjadi kebanggaan daerah tersebut.
Eksplorasi konten lain dari MentayaNet
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.