Yanto E Saputra bersama dengan Damang Kepala Adat Tualan Hulu Leger T Kunum serta sejumlah tokoh adat datang ke Pengadilan Negeri Sampit (25/2) kemarin.
Yanto bersama kepala adat harus bola balik ke Pengadilan Negeri Sampit setelah keduanya digugat PT Hutanindo Alam Lestari (HAL) atas putusan hukum kepala adat atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan kelapa sawit tersebut.
“Kami digugat karena putusan adat yang kami keluarkan yang mana intinya menyatakan bahwa penggarapan lahan eks makam keluarga Yanto E Saputra itu adalah melanggar hukum aday di suku Dayak,” kata Leger T Kunum.
Leger berujar bahwa sikap perusahaan yang justru menggugat putusan adat ke jalur keperdataan ini memang agak lain.
Namun, katanya sebagai orang yang bertanggungjawab atas keputusan hukum adat itu dia akan terus meladeni gugatan dari pihak perusahaan.
” Kami akan terus melawan gugatan dari pihak perusahaan,” tegasnya.
Sementara itu Yanto E Saputra mengatakan sebagai pihak ahli waris dalam perkara dugaan pengrusakan makam yang telah dilakukan perusahaan.
” Saya sudah mengadukan persoalan itu ke DAD Kotim, kami pasang portal adat di perusahaan, agar perusahaan melaksanakan putusan hukum adat yang berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Namun dalam perjalanannya portal adat ini dilepas oleh yanto dengan adanya kesepakatan bersama perusahaan untuk berdamai.
Keduanya sepakat untuk duduk bersama,” Sayangnya disitu tidak ada titik temu lagi,”
Yanto mengadukan masalah itu ke DAD Kotim dengan dasar putusan hukum adat dari sidang adat. Alih-alih mendapatkan penanganan dan keberpihakan atas putusan adat yang dipegangnya namun justru menuai kekecewaan.
Ditingkat DAD Kabupaten Kotim Yanto E Saputra justru merasa penanganan itu berpotensi merugikan dirinya sebagai ahli waris dari eks makam yang digarap. Hingga kini penanganannya tidak jelas.
Tidak lama Yanto dan Kepala Adat itupun digugat di PN Sampit. Perusahaan dalam gugatannya menyatakan kerugian akibat putusan hukum adat itu mencapai Rp 3 miliar lebih.
”Para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum melakukan Hinting Adat pada areal perkebunan milik penggugat,” kata kuasa hukum PT Hal Mahdianur kala itu.
Proses gugatan itupun saat ini masih bergulir, putusan hakim pengadilan setempat akan menjadi atensi publik sebab rentan memicu eskalasi akibat gugatan terhadap putusan adat tersebut.
Yanto pun melawan, secara pidana dia sudah mengadukan perusahaan ke Polda Kalteng. Laporan Yanto pun diproses oleh Direktorat Kriminal Umum Polda Kalteng dengan menurunkan tim ke lokasi penggusuran eks makam tersebut. Pemanggilan dan pemeriksaan kepada saksi-saksi hingga terlapor dalam hal ini PT HAL mulai bergulir.
Sayangnya laporan Yanto di DPRD Kotim berujung mengecewakan, pengaduan resmi yang dilayangkannya tidak mendapatkan respon dari wakil rakyat di lembaga itu.
Yanto merasa diabaikan padahal ini dilakukan untuk menjaga marwah hukum adat setempat supaya kedepannya tidak jadi bahan permainan oknum-oknum.
”Laporam saya di DPRD Kotim sepertinya tidak ditanggapi belum ada jawaban berbulan bulan ini,”kata dia.
Tidak meyerah Yanto pun mengadukan masalahnya ini ke DPRD Kalteng, alhasil di sana dia mendapatkan secercah harapan. DPRD Kalteng dibawah komando Arthon S Dohong ini berjanji akan menjadwalkan tindaklanjut pengaduan itu baik dengan memanggil pihak PT HAL.
“Laporan di DPRD Kalteng sudah direspon dan saya mendapatkan informasi dari staf disana untuk dijadwalkan dalam waktu dekat,”kata Yanto.
Yanto mengakui memang untuk menghadapi perusahaan itu bukan mudah, namun baginya tidak akan menyerah sampai kapanpun sebab penggusuran lahan eks makam leleuhur mereka tersebut sebagai interpretasi harkat dan martabat keluarga besarnya dalam tatanan kehidupan sosiokultur Suku Dayak.
“Kami akan laporkan ke Komnas HAM dalam waktu dekat ini,”” pungkasnya.
Eksplorasi konten lain dari MentayaNet
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.