banner 130x650

DPRD Kotim Respons Isu Dugaan Perselingkuhan Oknum Kades: Nikah Siri Tanpa Catatan Tak Punya Kekuatan Hukum

Oknum Kades
Foto : DPRD Kotim Respons Isu Dugaan Perselingkuhan Oknum Kades: Nikah Siri Tanpa Catatan Tak Punya Kekuatan Hukum

Isu dugaan perselingkuhan yang melibatkan seorang Kepala Desa (Kades) di Kecamatan Pulau Hanaut, Kabupaten Kotawaringin Timur, kini menjadi sorotan serius di kalangan legislatif.

Wakil Ketua Komisi I DPRD Kotim, Eddy Mashami, memberi tanggapan tegas terkait kabar tersebut. Menurutnya, bila benar terjadi pernikahan siri tanpa pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA), hubungan itu tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara dan rentan menimbulkan persoalan hukum maupun moral.

Eddy Mashami menyebut bahwa pernikahan secara agama (nikah siri) memang dapat diakui oleh sebagian kalangan agama, tetapi dalam konteks hukum negara, statusnya tetap tidak sah apabila tidak dicatatkan secara resmi.

Pernyataan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan setiap pernikahan dicatat menurut hukum yang berlaku.

“Nikah siri tanpa pencatatan di KUA tidak memiliki status hukum yang jelas dan tidak memberikan perlindungan hukum kepada pasangan suami istri,” ujar Eddy Mashami.

Lebih jauh, Eddy menekankan bahwa seorang kepala desa, sebagai pejabat publik di tingkat paling bawah, memiliki tanggung jawab moral dan etika yang tinggi.

BACA JUGA :  Waket II DPRD Kotim Apresiasi Presiden Cabut Larangan Ekspor Minyak Goreng

Bila perilaku pribadinya dipertanyakan, bukan hanya kredibilitas kepala desa itu sendiri yang terancam, tetapi juga citra pemerintahan desa secara keseluruhan.

Dalam konteks itu, ia menyarankan agar pernikahan dilakukan secara sah baik dari aspek agama dan administrasi negara agar pasangan memiliki kepastian hukum.

Dalam polemik ini, Eddy juga mengungkap sejumlah implikasi hukum yang mungkin timbul apabila hubungan semacam itu tidak diakui secara negara tidak ada perlindungan terhadap hak dan kewajiban suami istri, tidak ada pengaturan pembagian harta (gono-gini), hak asuh anak menjadi abu-abu, dan hak waris menjadi tidak jelas.

Oleh karena itu, ia mendesak bahwa pejabat desa harus menjadi contoh teladan, bukan sumber kontroversi di masyarakat.

Eddy Mashami juga menyebut bahwa meskipun Undang-Undang Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014) tidak secara spesifik melarang nikah siri, seorang kepala desa selayaknya menempatkan dirinya pada standar moral dan hukum yang lebih tinggi.

BACA JUGA :  Bikin Resah! Tambang Batu Bara di Parenggean Tak Kantongi HGU

”Seorang pejabat desa wajib mematuhi peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Perkawinan. Kalau kepala desa pilih nikah siri dan tak mengurus catatan, itu bisa mencoreng integritasnya,” ujar dia.

Dia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa DPRD akan terus mendorong pengawasan moral terhadap aparatur desa.

Jika terdapat pelanggaran, baik administratif atau etika, maka tindakan korektif harus dilakukan oleh pemerintah desa, Inspektorat, dan lembaga terkait untuk menjaga kepercayaan publik kepada pemerintahan desa.

Hingga kini, pihak kecamatan dan pemerintah desa terkait belum memberikan klarifikasi resmi mengenai dugaan perselingkuhan tersebut.

Namun masyarakat menunggu langkah nyata dari otoritas desa dan pejabat terkait agar isu tersebut tidak menimbulkan keretakan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan lokal.


Eksplorasi konten lain dari MentayaNet

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

You cannot copy content of this page

Eksplorasi konten lain dari MentayaNet

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca