Sebuah gagasan brilian lahir dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sampit (UMSA) yang berhasil menciptakan konsep kawasan edukasi perdamaian bernama Himbing Lenge Sampit.
Gagasan ini dirancang sebagai model pembelajaran resolusi konflik dan pendidikan multikultural di Indonesia yang menekankan pentingnya nilai toleransi, perdamaian, serta kebersamaan dalam keberagaman.
Istilah Himbing Lenge berasal dari bahasa Dayak yang berarti bergandengan tangan, menggambarkan semangat persatuan dan hidup berdampingan dalam damai.
Konsep ini diilhami dari filosofi Huma Betang, simbol kehidupan masyarakat Dayak yang mencerminkan toleransi dan persaudaraan di tengah perbedaan.
Gagasan ini tidak hanya menjadi ide konseptual, tetapi juga berhasil meraih hibah nasional melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) skema Video Gagasan Konstruktif (VGK) 2025 yang diselenggarakan oleh Belmawa Kemendikbudristek.
Ajang nasional tersebut menjadi wadah bagi mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk mengajukan ide kreatif dan solutif yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
Kawasan Himbing Lenge Sampit terbagi menjadi tiga zona utama yang saling terhubung dan memiliki fungsi edukatif berbeda. Zona pertama adalah Museum Hapakat, pusat dokumentasi dan refleksi sejarah yang memperkenalkan perjalanan menuju perdamaian.
Museum ini dirancang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagai pemandu virtual interaktif untuk memberikan pengalaman belajar yang menarik dan mendalam bagi pengunjung.
Zona kedua adalah Huma Budaya, yang menjadi ruang edukasi dan pelestarian kebudayaan Dayak melalui pengenalan filosofi Huma Betang serta pertunjukan seni tradisional.
Zona ini diharapkan mampu menjadi wadah pertemuan lintas budaya yang menanamkan nilai toleransi melalui interaksi sosial dan kegiatan kebersamaan.
Zona ketiga, Mamangun Lewu, merupakan miniatur desa multietnis yang merepresentasikan semangat kolaborasi dan perdamaian.
Area ini dirancang untuk menjadi ruang belajar terbuka yang menampilkan praktik nyata kehidupan masyarakat dengan latar belakang berbeda namun tetap hidup harmonis setelah konflik.
Gagasan inovatif ini digagas oleh mahasiswa lintas program studi, yaitu Rizki Alysa (Pendidikan Bahasa Inggris), M. Jumawan (Pendidikan Matematika), Rusydan Zahir Ajala (Bimbingan Konseling), dan Tri Muji Wahyu (Pendidikan Matematika), dengan bimbingan Dr. Gita Anggraini, M.Pd.I selaku dosen pendamping.
Menurut Dr. Gita Anggraini, ide Himbing Lenge Sampit lahir dari keprihatinan terhadap masih terjadinya gesekan sosial di tengah masyarakat akibat rendahnya kesadaran multikultural.
Ia menekankan pentingnya pendidikan berbasis nilai kemanusiaan sebagai kunci dalam mencegah konflik sosial di masa depan.
“Konsep Himbing Lenge Sampit ini bukan hanya mengajarkan tentang perdamaian, tetapi juga menanamkan semangat hidup berdampingan yang menjadi ruh masyarakat Kalimantan. Filosofi Huma Betang kami jadikan fondasi pendidikan agar generasi muda memahami pentingnya menghargai perbedaan,” ujar Dr. Gita.
Ia menambahkan, capaian mahasiswa UMSA dalam meraih hibah nasional membuktikan bahwa mahasiswa daerah juga mampu berinovasi dan memberi kontribusi terhadap isu kebangsaan.
“Mereka bukan sekadar mencetuskan ide, tapi membawa pesan kemanusiaan yang kuat dan relevan dengan situasi sosial kita hari ini,” tambahnya.
Sementara itu, perwakilan tim, Rizki Alysa, menjelaskan bahwa Himbing Lenge Sampit merupakan simbol ajakan untuk membangun kesadaran kolektif dalam merawat perdamaian.
“Kami ingin kawasan ini nantinya menjadi ruang pembelajaran terbuka yang mempertemukan masyarakat dari berbagai latar belakang untuk saling memahami dan bekerja sama. Himbing Lenge berarti kita tidak berjalan sendiri, tetapi bergandengan tangan menuju masa depan yang damai,” ujarnya.
Gagasan ini diharapkan menjadi inspirasi bagi daerah lain dalam menciptakan kawasan edukatif yang mengedepankan nilai multikultural dan resolusi konflik.
Jika terealisasi, Himbing Lenge Sampit berpotensi menjadi ikon pendidikan perdamaian di Kalimantan Tengah sekaligus model nasional pembelajaran sosial berbasis kearifan lokal.
Dari tanah Sampit, para mahasiswa UMSA menanamkan benih perdamaian melalui semangat muda dan kreativitas yang tinggi.
Melalui gagasan Himbing Lenge Sampit, mereka membawa pesan bahwa perdamaian bukan sekadar cita-cita, tetapi bisa diwujudkan melalui pendidikan, kebudayaan, dan kolaborasi lintas generasi untuk membangun masa depan Indonesia yang damai dan berkeadilan.
Eksplorasi konten lain dari MentayaNet
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.